Saturday, December 8, 2018

KONSEP-KONSEP HUKUM PERIKATAN ISLAM


1.                  KONSEP-KONSEP HUKUM PERIKATAN ISLAM
Periktan dalam bahasa Arab terdapat dua istilah, pertama kata  aqada artinya menyimpulkan, ( lihat Q.S. Al Maiah (5): 1, dalam kamus Al Munawir, Bahsa Arab Indonesia aqad adalah mengikat, dapat juga disebut ‘uquud artinya perjanjian (yang tercatat) kontrak. Kedua ‘ahdu  (lihat Q.S. Ali Imran (3) : 76,  yatiu berjanji.
            Dari segi bahasa aqad adalah ikatan, mengikat. Ikatan artinya menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali.
            Fathurrahman Djamil menyamakan kata al ‘aqdu dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata. Sedaangkan Istilah al ‘ahdu disamakan dengan perjanjian atau overeenkomst, yaitu pernyataan dari seorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tiidak berkaitan dengan orang lain.  
Oleh Quraish Shihab kata ‘uquud diberikata pengertian mengikat sesuatu dengan sesuatu sehingga tidak menjadi bagiannya dan tidak terpisah dengannya.
            Dalam Kompilasi hukum Ekonomi Syariah kata aqad diberi perngerttian adalah kesepakatan dalalm suatu perjanjinan antara dua pihak atau lebih untuk melakukan atau tiidak melakukan perbuatan hukum tertentu.
            Jadi hukum perikatan Islam adalah seperangkat kaidah hukum Islam yang mengatur tentang hubungnan antara dua pihak atau lebih mengenai suatu benda atau barang yang menjadi halal dari suatu objek transaksi.
Menurut para ahli hukum Islam (fuqaha) aqad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.
            Dengan demikian kaidah-kaidah hukum yang berhubngan langsung dengan  hukum perikatan Islam  adalah bersumber dari Alqur’an dan Sunnah Rasulullah (syariah) dan hasil pemikiran manusia  (ijtiha) sebagai implemenatasi dari syariah  yaitu fikih.  Ini berarti hukum perikatan Islam di satu  sisi bersifat hubungan perdata dan di satu sisi yang lain sebagai kepatuhan menjalankan ajaran agama Islam (syari’at Islam). hukum perikatan Islam bersifat  religiu transendental yang melekat pada kaidah-kaidah yang melingkupi  hukum perikatan Islalm itu sendiri sebagai pencerminan dari otoritas Allah
Dengan demikian subtansi hukum perikatan Islam  materinya lebih luas dari hukum perdata Barat. Hal ini dapat dilihat dari keterkaitan hukum perikatan itu sendiri  dengan hukum Islam , tiak hanya mengataru hubungan manusia dengan manusia (horisontal) tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan Allah (vertikal).
Menurut Abdoerraeof terjadi suatu perikatan (al aqdu) melalui tiga tahap, yaitu:
1.      Al ’Ahdu (perjanjian) = pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu  dan tidak tersangkut paut dengan kemauan orang lain.
2.      Pesetujuan = pernyataan setuju dari piihak kedua  untuk melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan itu harus sesuai dengan janji pihak pertama.
3.      Apabila janji kedua pihak dilaksanakan maka terjadilah ‘aqdu.
Contoh : Ahmad menyatakan janji membeli sebuah rumah, kemudian Ali menyatakkakn menjuall sebuah rumah, maka Ahmad dan Ali berada pada tahap al ‘ahdu.  Apabila tipe rumah dan harg rumah telah disepakati oleh kedua pihak maka terjadi persetujuan.  Jika kedua janji tersebut dilaksanakan maka terjadi perikatan atau akdu di antara keduanya.

Menurut Subekti perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, beerdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal. Peristiwa perjanjian tersebut menimbulkan hubungan diantara aorang-orang tersebut yang disebut dengan perikatan. Jadi hubungan antra perikatan dgn perjanjian  aadalah perjanjian menimbulkan perikatan. Lihat Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan.
            Perbedaan hukum perikatan Islam dan hukum perikatan dalam KUH Perdata ada pada tahap perjanjian. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak pertama terpiah dari janji phak kedua (dua tahap) baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan dalam KUH Perdata perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap, yang kemudian melahirkan perikatan.
Gani Abdullah berpandangan bahwa hukum perikatan Islam titik tolak adalah ikrar (Ijab dan kabul) dalam tiap transaksi.
A.    Dasar Hukum   
1). Al-Qur’an
Surah Al-Maidah ayat 1
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”.
Surah Ali Imran ayat 76
Artinya :
“(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuatnya) dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa”.

2). Hadist
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ bahwasanya Nabi SAW, ditanya: Apakah pencaharian yang paling baik? Jawabanya: pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan tiap-tiap jual beli yang mabrur”.

3). Ijma’Ulama
Dalam hukum akad, terjadi perbedaan pendapat dari beberpa ulama mazhab. Salah satunya Mazhab Hambali bahwa akad bebas dilakukan selama tidak ada hal-hal yang jelas dilarang agama. Sedangkan pada Mazhab Hanafi, bahwa akad merupakan hal yang dilarang, kecuali apabila ada keadaan yang membuatnya untuk berakad kepada orang lain (Istihsan). Kemudian mazhab lainnya seperti Syafi’i juga tidak membolehkan akad apabila objeknya belum ada di hadapan pihak yang membutuhkan.

No comments: