Saturday, December 8, 2018

HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK


1.     
NAMA : RAHMI ZAIRINA                               NIM :141207931
 
HAK DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
Dalam Hukum Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduannya, yang di akui oleh syarak. Namun demikian, secara umum pengertian hak adalah sesuatu yang kita terima, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita tunaikan atau di laksanakan.
1.  Hak
A.  Pengertian Hak
Hak menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atas untuk menuntut sesuatu. Menurut ulama fiqih pengertian hak antara lain :
1.                       Menurut sebagian para ulama mutaakhirin : “hak adalah sesuatu hukum yang telah di tetapkan secara syara”.
2.                       Menurut Syekh Ali Al-Khafifi(Mesir): “hak adalah kemaslahatan yang di peroleh secarasyara”.
3.                       Menurut Ustadz Mustafa Az-Zarqa: “hak adalah sesuatu kekhususan yang padanya di tetapkansyara” suatu kekuasaan atau taklif.
4.                       Menurut Ibnu Nujaim : “hak adalah sesuatu kekhususan yang terlindungi”.
B.  Macam-macam hak
Ulama fiqih mengemukakan bahwa macam-macam hak dapat di lihat dari berbagai segi :
Di lihat dari segi pemilik hak, terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
a.       Hak Allah SWT
Hak Allah, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkannya.
b.      Hak Manusia
Hak ini pada hakikatnya di tujukan untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yangbersifat umum seperti, menjaga(menyediakan) sarana kesehatan. Yang bersifat khusus, seperti menjammin hak milik seseorang, hak istri mendapat nafkah dari suaminya.
c.       Hak Gabungan antara hak Allah dan hak Manusia
Mengenai hak gabungan ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan (berperan) dan adakalanya hak manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh, dari hak Allah yang lebih dominan adalah dalam masalah “Idah”. Sedangkan hak manusia lebih menonjol dari hal Allah adalah seperti dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau penganiayaan dengan sengaja.
C.    Dari segi objek hak
Menurut ulama fiqih, dari segi objeknya, hak terbagi atas :
a.         Hak Maali (hak yang berhubungan dengan harta)
b.        Hak Ghairu Maali (hak yang tidak terikat dengan benda)
c.         Hak asy-Sakhsyi
d.        Hak al-‘Aini
Ada beberapa keistimewaan atas haqq al-‘aini dan haqq asy-syakhsyi, ulama fiqih mengemukakannya sebagai berikut :
1.      Haqq al-‘aini bersifat permanen dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain. Perbedaan antara perbedaan kedua hak tersebut adalah, hak seseorang dalam haqq al-‘aini, sedangkan haqq asy-Syakhsyi merupakan hak yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang yang telah mukallaf (dewasa/sudah dapat bertanggung jawab).
2.      Haqq al-‘aini menjadi gugur apabila materinya hancur (musnah), sedangkan haqq asy-Syakhsyi tidak dapat di gugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali pemilik hak itu meninggal
Di samping itu, terdapat pula beberapa macam haqq al-‘aini (hak yang berkaitan dengan harta benda) yaitu :
1.      Haaq al-Milkiyah (Hak Milik)
Hak milik adalah suatu hak yang memberikan kepada pihak yang memilikinya kekuasaan atau kewenangan atas sesuatu.
2.      Haqq al-Intifa’
Hak untuk memanfaankan harta benda orang lain melalui sebab-sebab yang di benarkan oleh syara’.
3.      Haqq al-Irtifaq
Haqq al-Irtifaq adalah hak yang berlaku atas suatu benda tidak bergerak untuk kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain. Hak irtifaq ini melekat pada benda-benda tidak bergerak. Adapun jenis-jenis hak irtifaq yang populer dalam kitab-kitab fiqih, antara lain :
a.    Haqq al-Syurbi,
b.   Haqq al-Majra,
c.    Haqq al-Masil,
d.   Haqq al-Jiwar,
e.     Haqq al-Ta’ali,
f.    Haqq al-Murur.
4.      Hak mujjarrad dan ghairu mujarrad
1.      Haqq mujjarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila di gugurkan melalui perdamaian atau pemanfaatan.
2.      Haqq ghairu mujarrad adalah suatu hak yang apabila di gugurkan atau di maafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan.

3.      Dari segi kewenangan pengadilan
Dari segi ini ulama fiqih membaginya kepada dua macam :
a.                  Haqq diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri(intervensi) oleh kekuasaan kehakiman.
b.             Haqq qadhaai, adalah seluruh hak di bawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilik hak itu mampu membuktikan haknya di depan hakim.
D.    Sumber atau sebab hak
Ulama fiqih telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak adalah syara’. Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa sebab dan adakalanya melalui suatu sebab. Syara’ yang menetapkan hak-hak secara langsung tanpa sebab, seperti perintah melaksanakan berbagai ibadah. Sedangkan syara’ yang menetapkan hak melalui sebab, salah satu contohnya yakni dalam sebuah perkawinan. Menurut ulama fiqih sumber hak itu ada 5 yaitu :

1.         Syara’
2.        Akad,
3.        Kehendak pribadi,
4.        Perbuatan yang bermanfaat,
5.         Perbuatan yang menimbulkan mudarat bagi orang lain.
C.      Akibat hukum suatu hak
1.       Perlindungan Hak merupakan penjabaran dari ajaran dan prinsip keadilan.
2.       Penggunaan hak dalam Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik untuk menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya (iradah) sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
D.      Pelanggaran dalam penggunaan hak (Ta’assuf fi Isti’malil Haqq)
Ta’assuf fi Isti’malil Haqq ditegaskan oleh ajaran Islam sebagai perbuatan terlarang dan tercela (haram). Dalil yang menunjukan larangan Ta’assuf fi Isti’malil Haqq antara lain didasarkan pada dua pertimbangan prinsip, yakni :
Pertama,pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwasanya Allah SWT adalah pemilik hak yang sesungguhnya, sedang hak yang di milikinya manusia merupakan amanat Allah yang harus di pergunakan sebagaimana yang di kehendakinya.
2.      Kewajiban
A.    Pengertian kewajiban
Kata kewajiban berasal dari kata “wajib” yang di beri imbuhan ke-an. Dalam pengertian bahasa kata wajib berarti (sesuatu) harus di lakukan, tidak boleh tidak di laksanakan. Wajib ini merupakan salah satu kaidah dari hukum taklif yang berarti hukum yang bersifat membebani perbuatan mukallaf, karena itu penulis lebih memfokuskan pemahaman kewajiban dalam pengertian akibat hukum dari suatu akad yang biasa di istilahkan sebagai“Iltizam”. Iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Adapun yang menjadi sumber utama Iltizam, adalah :
a.                   Aqad,
b.                  Iradah al-munfaridah(kehendak sepihak, seperti ketika seseorang menyampaikan suatu janji atau nazar),
c.                   Al-fi’lun nafi (perbuatan yang bermanfaat),
d.                  Al-fi’lu al-dharr (perbuatan yang merugikan).
Iltizam atas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui suatu perbuatan yang menjadimahallul iltizam, seperti kewajiban seorang buruh (musta’jir). Iltizam terhadap utang pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berutang secara langsung. Hukum Islam memberikan beberapa alternatif pemenuhan iltizam ini, misalnya :
a.       Hawalah,
b.      Kafalah (“mengumpulkan, menjamin, dan menanggung”)
c.       Taqashi.
3.  Khiyar
a.  Pengertian Khiyar
Kata al-khiyar dalam bahasa Arab, berarti pilihan. Secara terminologis para Ulama Fiqih mendefinisikan al-khiyar dengan :
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Macam-macam Khiyar
Beberapa macam khiyar yang dapat terjadi pada suatu transaksi, yakni:
1.                  Khiyar al-Majlis
2.                  Khiyar at-Ta’yin
3.                  Khiyar asy-Syarth
4.                  Khiyar al’Aib
5.                  Khiyar ar-Ru’yah
6.                  Khiyar Naqad (pembayaran)


2.         PENYELESAIAN PERSELISIHAN
1.         Penyelesaian Perselisihan dalam Akad Perdagangan
Dalam kitab-kitab fiqih ada beberapa patokan yang dapat diambil sebagai cara penyelesaian perselisihan dalam bertransaksi.
a.         Perselisihan harga
b.        Perselisihan pertanggungjawaban atas risiko

2.        Jalan Penyelesaian
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam, pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu :
1)      Shulhu (Perdamaian)
Suatu usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam, dan bermusuhan dalam memperthankan hak.
2)      Tahkim
Persetujuan antara kedua pihak yang berselisih untuk menerima keputusan tertentu dalam menyeselsaikan perselihan mereka,
3)      Al-Qadha
Lembaga hukum dan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas mengharuskan orng mengikutinya ataupun memutuskan perselisihan oleh hakim

1. BERAKHIRNYA AKAD
     Suatu akad di pandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.
1.                  Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang waktu.
2.                   Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.                  Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a.       Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun atau syaratnya tidak terpenuhi.
b.      Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c.       Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
d.      Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
4.      Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.

No comments: