1.
HAK
DAN KEWAJIBAN PARA PIHAK
|
Dalam
Hukum Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat,
atau pada keduannya, yang di akui oleh syarak. Namun demikian, secara umum
pengertian hak adalah sesuatu yang kita terima,
sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita tunaikan atau di
laksanakan.
1. Hak
A. Pengertian
Hak
Hak
menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atas untuk menuntut
sesuatu. Menurut ulama fiqih pengertian hak antara lain :
1.
Menurut
sebagian para ulama mutaakhirin : “hak adalah sesuatu hukum yang telah di
tetapkan secara syara”.
2.
Menurut
Syekh Ali Al-Khafifi(Mesir): “hak adalah kemaslahatan yang di peroleh
secarasyara”.
3.
Menurut
Ustadz Mustafa Az-Zarqa: “hak adalah sesuatu kekhususan yang padanya di
tetapkansyara” suatu kekuasaan atau taklif.
4.
Menurut
Ibnu Nujaim : “hak adalah sesuatu kekhususan yang terlindungi”.
B. Macam-macam
hak
Ulama
fiqih mengemukakan bahwa macam-macam hak dapat di lihat dari berbagai segi :
Di
lihat dari segi pemilik hak, terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
a. Hak Allah SWT
Hak Allah, yaitu seluruh bentuk yang
dapat mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkannya.
b. Hak Manusia
Hak ini pada hakikatnya di tujukan untuk
memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum
dan ada yang bersifat khusus. Yangbersifat umum seperti,
menjaga(menyediakan) sarana kesehatan. Yang bersifat khusus, seperti menjammin
hak milik seseorang, hak istri mendapat nafkah dari suaminya.
c. Hak Gabungan antara hak Allah dan hak
Manusia
Mengenai hak gabungan
ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan (berperan) dan adakalanya hak
manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh, dari hak Allah yang lebih dominan
adalah dalam masalah “Idah”. Sedangkan hak manusia lebih menonjol dari hal
Allah adalah seperti dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau
penganiayaan dengan sengaja.
C. Dari segi objek hak
Menurut
ulama fiqih, dari segi objeknya, hak terbagi atas :
a.
Hak Maali (hak
yang berhubungan dengan harta)
b.
Hak Ghairu
Maali (hak yang tidak terikat dengan benda)
c.
Hak asy-Sakhsyi
d.
Hak al-‘Aini
Ada
beberapa keistimewaan atas haqq al-‘aini dan haqq asy-syakhsyi,
ulama fiqih mengemukakannya sebagai berikut :
1. Haqq al-‘aini bersifat permanen dan
mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain.
Perbedaan antara perbedaan kedua hak tersebut adalah, hak seseorang
dalam haqq al-‘aini, sedangkan haqq asy-Syakhsyi merupakan
hak yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang yang
telah mukallaf (dewasa/sudah dapat bertanggung jawab).
2. Haqq al-‘aini menjadi gugur apabila
materinya hancur (musnah), sedangkan haqq asy-Syakhsyi tidak dapat di
gugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali pemilik hak itu
meninggal
Di
samping itu, terdapat pula beberapa macam haqq al-‘aini (hak yang
berkaitan dengan harta benda) yaitu :
1. Haaq al-Milkiyah (Hak Milik)
Hak
milik adalah suatu hak yang memberikan kepada pihak yang memilikinya kekuasaan
atau kewenangan atas sesuatu.
2. Haqq al-Intifa’
Hak
untuk memanfaankan harta benda orang lain melalui sebab-sebab yang di benarkan
oleh syara’.
3. Haqq al-Irtifaq
Haqq
al-Irtifaq adalah hak yang berlaku atas suatu benda tidak bergerak untuk
kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain. Hak irtifaq ini
melekat pada benda-benda tidak bergerak. Adapun jenis-jenis
hak irtifaq yang populer dalam kitab-kitab fiqih, antara lain :
a. Haqq al-Syurbi,
b. Haqq al-Majra,
c. Haqq al-Masil,
d. Haqq al-Jiwar,
e. Haqq al-Ta’ali,
f. Haqq al-Murur.
4.
Hak mujjarrad dan ghairu
mujarrad
1. Haqq mujjarrad adalah hak murni
yang tidak meninggalkan bekas apabila di gugurkan melalui perdamaian atau
pemanfaatan.
2. Haqq ghairu mujarrad adalah suatu
hak yang apabila di gugurkan atau di maafkan meninggalkan bekas terhadap orang
yang dimaafkan.
3.
Dari
segi kewenangan pengadilan
Dari
segi ini ulama fiqih membaginya kepada dua macam :
a.
Haqq
diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri(intervensi)
oleh kekuasaan kehakiman.
b.
Haqq
qadhaai, adalah seluruh hak di bawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilik
hak itu mampu membuktikan haknya di depan hakim.
D. Sumber atau sebab hak
Ulama
fiqih telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak adalah syara’.
Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa
sebab dan adakalanya melalui suatu sebab. Syara’ yang menetapkan
hak-hak secara langsung tanpa sebab, seperti perintah melaksanakan berbagai
ibadah. Sedangkan syara’ yang menetapkan hak melalui sebab, salah satu
contohnya yakni dalam sebuah perkawinan. Menurut ulama fiqih sumber hak itu ada
5 yaitu :
1.
Syara’
2.
Akad,
3.
Kehendak
pribadi,
4.
Perbuatan
yang bermanfaat,
5.
Perbuatan
yang menimbulkan mudarat bagi orang lain.
C. Akibat hukum suatu hak
1. Perlindungan Hak merupakan penjabaran
dari ajaran dan prinsip keadilan.
2. Penggunaan hak dalam Islam memberikan
kebebasan bagi setiap pemilik untuk menggunakan haknya sesuai dengan
kehendaknya (iradah) sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
D. Pelanggaran dalam penggunaan hak (Ta’assuf
fi Isti’malil Haqq)
Ta’assuf
fi Isti’malil Haqq ditegaskan oleh ajaran Islam sebagai perbuatan
terlarang dan tercela (haram). Dalil yang menunjukan larangan Ta’assuf fi
Isti’malil Haqq antara lain didasarkan pada dua pertimbangan prinsip,
yakni :
Pertama,pada
prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan kebebasan
yang bertanggung jawab.
Kedua, prinsip
tauhid mengajarkan bahwasanya Allah SWT adalah pemilik hak yang sesungguhnya,
sedang hak yang di milikinya manusia merupakan amanat Allah yang harus di
pergunakan sebagaimana yang di kehendakinya.
2.
Kewajiban
A. Pengertian kewajiban
Kata
kewajiban berasal dari kata “wajib” yang di beri imbuhan ke-an. Dalam
pengertian bahasa kata wajib berarti (sesuatu) harus di lakukan, tidak boleh
tidak di laksanakan. Wajib ini merupakan salah satu kaidah dari
hukum taklif yang berarti hukum yang bersifat membebani
perbuatan mukallaf, karena itu penulis lebih memfokuskan pemahaman
kewajiban dalam pengertian akibat hukum dari suatu akad yang biasa di istilahkan
sebagai“Iltizam”. Iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang
mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu
perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Adapun yang menjadi sumber
utama Iltizam, adalah :
a.
Aqad,
b.
Iradah
al-munfaridah(kehendak sepihak, seperti ketika seseorang menyampaikan suatu
janji atau nazar),
c.
Al-fi’lun
nafi (perbuatan yang bermanfaat),
d.
Al-fi’lu
al-dharr (perbuatan yang merugikan).
Iltizam atas
suatu perbuatan harus dipenuhi melalui suatu perbuatan yang menjadimahallul iltizam,
seperti kewajiban seorang buruh (musta’jir). Iltizam terhadap utang
pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berutang secara langsung. Hukum
Islam memberikan beberapa alternatif pemenuhan iltizam ini, misalnya
:
a. Hawalah,
b. Kafalah (“mengumpulkan, menjamin,
dan menanggung”)
c. Taqashi.
3. Khiyar
a. Pengertian
Khiyar
Kata al-khiyar dalam
bahasa Arab, berarti pilihan. Secara terminologis para Ulama Fiqih
mendefinisikan al-khiyar dengan :
Hak pilih bagi
salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk
melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi
masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Macam-macam
Khiyar
Beberapa
macam khiyar yang dapat terjadi pada suatu transaksi, yakni:
1.
Khiyar
al-Majlis
2.
Khiyar
at-Ta’yin
3.
Khiyar
asy-Syarth
4.
Khiyar
al’Aib
5.
Khiyar
ar-Ru’yah
6.
Khiyar
Naqad (pembayaran)
2. PENYELESAIAN
PERSELISIHAN
1. Penyelesaian
Perselisihan dalam Akad Perdagangan
Dalam
kitab-kitab fiqih ada beberapa patokan yang dapat diambil sebagai cara penyelesaian
perselisihan dalam bertransaksi.
a.
Perselisihan
harga
b.
Perselisihan
pertanggungjawaban atas risiko
2.
Jalan
Penyelesaian
Penyelesaian
perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam, pada prinsipnya boleh
dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu :
1)
Shulhu
(Perdamaian)
Suatu
usaha untuk mendamaikan dua pihak yang berselisihan, bertengkar, saling dendam,
dan bermusuhan dalam memperthankan hak.
2)
Tahkim
Persetujuan
antara kedua pihak yang berselisih untuk menerima keputusan tertentu dalam
menyeselsaikan perselihan mereka,
3)
Al-Qadha
Lembaga
hukum dan perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang yang
mempunyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas mengharuskan orng
mengikutinya ataupun memutuskan perselisihan oleh hakim
1.
BERAKHIRNYA AKAD
Suatu akad di pandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain
tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila
terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.
1.
Berakhirnya masa berlaku akad itu, apabila akad itu mempunyai tenggang
waktu.
2.
Dibatalkan oleh
pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu sifatnya tidak mengikat.
3.
Dalam akad yang bersifat mengikat, suatu akad dapat dianggap berakhir jika:
a.
Jual beli itu fasad, seperti terdapat unsur-unsur tipuan salah satu rukun
atau syaratnya tidak terpenuhi.
b.
Berlakunya khiyar syarat, aib, atau rukyat.
c.
Akad itu tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak
d.
Tercapainya tujuan akad itu sampai sempurna.
4. Salah satu pihak yang berakad meninggal dunia.
No comments:
Post a Comment