DISINI DAPAT ANDA TEMUKAN BEBAGAI HAL YANG MENARIK YANG MUNGKIN ANDA SUKAI DAN BAHAN BELAJAR
Tuesday, July 21, 2015
Tuesday, July 14, 2015
makalah umat islam memasuki abad ke 21
PEMBAHASAN
A. Islam dan Isu Globalisasi.
Secara tekstual sejak 14 abad yang lalu Alquran telah menegaskan bahwa Islam adalah ajaran universal, dimana misi serta klaim kebenaran ajarannya melampaui batas-batas suku, etnis, bangsa dan bahasa. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika berbagai seruan Alquran banyak sekali menggunakan ungkapan yang berciri kosmopolitanisme ataupun globalisme. Misalnya saja banyak firman Allah yang memulai seruan-Nya dengan ungkapan "Wahai manusia...." Lebih dari itu, karena Islam kita yakini sebagai agama penutup, maka secara instrinsik jangkauan dakwah Islam mestilah mendunia, bukannya agama suku, rasial dan parokhial sebagaimana agama-agama terdahulu yang hanya dialamatkan pada suatu kaum tertentu.
makalat tentang zakat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perekonomian
yang digerakkan oleh mekanisme pasar bebas tanpa diikuti oleh proses
redistribusi pendapatan akan mendorong terjadinya kutub-kutub ekonomi.
Meningkatnya pendapatan kelompok masyarakat kaya bisa mendorong pada kenaikan
harga yang tidak mampu diikuti oleh daya beli masyarakat miskin. Meskipun
kelompok kaya dan kelompok miskin ini telah membeli barang/jasa sesuai dengan
kesepakatan pasar namun tanpa disadari telah mendorong terjadinya proses
redistribusi barang/jasa dari kelompok yang memiliki daya beli rendah menuju
kelompok berdaya beli tinggi, dengan demikian dapat memproses dalam penghubung
ekonomi pemerintah, dan dapat memberdayakan ekonomi masyarkat.
Zakat merupakan hal
yang dapat mehubung dalam hal Urgensi Reinterpretasi Zakat Menghadapi Perubahan,
Peran Zakat Dalam Pemulihan Dan Transformasi Ekonomi dan Urgensi Zakat Dalam
Membangun Kesalehan Sosial. Disamping zakat diyakini
mampu melakukan redistribusi pendapatan antar masyarakat penerapan
prinsip-prinsip zakat membawa implikasi bagi transformasi perekonomian, dan
dapat membantu pertumbuhan ekonomi pemerintah.
Dalam
makalah yang berjudul “Zakat sebagai
Penghubung 3 Sektor Ekonomi Pemerintah”
ini akan dijelaskan sekelumit mengenai zakat dan yang berkaitan
dengannya.
B.
Manfaat
dan Tujuan Penulisan
·
Sebagai
bahan pembelajaran dan pacuan dalam memelihara Zakat
·
Mengajarkan
kita agar selalu mempergunakan zakat untuk pada tempat nya
·
Dapat
mengehtahui kegunaan dalam dalam pertumbuhan ekonomi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Urgensi
Reinterpretasi Zakat Menghadapi Perubahan Sosial
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat di zaman modern
ini telah membawa perubahan yang mendasar bagi pola kehidupan umat manusia.
Termasuk didalamnya masalah perekonomian dan sosial kemasyarakatan, juga telah
mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai objek zakat yang ditetapkan oleh
ulama terdahulu sudah kurang relevan untuk diterapkan saat ini, misalnya
banyaknya berkembang jenis-jenis harta di zaman modern ini yang belum termasuk
sebagai objek zakat.
Demikian
juga dengan masalah sosial kemasyarakatan, seperti masalah kemiskinan yang
semakin kompleks, menghendaki ditemukannya sistem pendayagunaan zakat yang
lebih baik dan efisien agar tujuan yang ingin dicapai dalam penerapan ajaran
zakat dapat diwujudkan. Sejalan dengan penjelasan tersebut, Louer tahun 1993
menjelaskan bahwa seluruh aspek kehidupan sosial terus-menerus mengalami
perubahan yang berbeda hanya tingkat perubahannya, ada yang berjalan lambat dan
ada yang berjalan cepat. Perubahan sosial menembus keberbagai tingkat kehidupan
sosial, demikian juga dengan kebutuhan hidup manusia tentunya juga berubah,
sehingga segala aturan, norma dan hukum yang mengatur tentang kehidupan
manusia, termasuk zakat tentunya harus bersifat dinamis, jika aturan tersebut
benar-benar diharapkan dapat eksis untuk menciptakan kemaslahatan umat manusia.
Berdasarkan
pemahaman tersebut, maka perubahan pada ajaran zakat pada tataran tehnis
merupakan suatu keharusan, hal ini disebabkan karena kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi telah membawa perubahan yang signifikan baik di bidang
perekonomian, sosial, politik dan budaya. Perubahan terhadap sistem
perekonomian masyarakat tentunya mengharuskan penafsiran kembali objek zakat,
demikian juga perubahan terhadap struktur sosial, budaya dan kebutuhan masyarakat
tentunya juga mengharuskan penafsiran kembali terhadap penentuan masing-masing
delapan konsep asnaf.
Meskipun
Al-Qur’an adalah sumber pertama dan utama dalam ajaran Islam, namun
tidak seluruh muatan ayat-ayatnya, terutama ayat-ayat hukum, sudah bersifat
rinci (tafsili). Sebagian besar ayat-ayat masih bersifat global (ijmali) yang
memerlukan penafsiran dan pengembangan makna lebih lanjut melalui berbagai
metode ijtihad.
Pada
dataran inilah diperlukan reinterpretasi jika situasi dan kondisi zaman telah mengalami
perubahan. Seperti misalnya dalam masalahan zakat yang menjadi bahasan dalam
tulisan ini, Al-Qur’an hanya menjelaskan perintah menunaikan zakat secara
global, Al-Qur’an tidak menyebutkan objek zakat secara rinci. Dalam surat
Al-Taubah ayat 103 :
Artinya : “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan
Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”[1]
Al-Qur’an
hanya memerintahkan mengambil harta zakat secara umum dari muzaki. Sedangkan
dalam masalah sasaran zakat, Al-Qur’an hanya menjelaskan delapan golongan yang
berhak menerima zakat juga secara global. Hal ini jelas memberikan suatu kesan
bahwa Al-Qur’an memberikan ruang yang besar kepada umat Islam, khususnya ulama
untuk menafsirkan ayat-ayatnya agar benar-benar memberikan kemaslahatan bagi
kehidupan umat manusia yang dinamis.
B. Peran
Zakat Dalam Pemulihan Dan Transformasi Ekonomi
Disamping
zakat diyakini mampu melakukan redistribusi pendapatan antar masyarakat
penerapan prinsip-prinsip zakat membawa implikasi bagi transformasi
perekonomian.
1. Zakat
sebagai Insentif Transformasi Ekonomi
Islam mengajarkan bahwa tarif zakat maal
telah ditentukan oleh Allah melalui contoh yang diberikan oleh Rasulullah
s.a.w. Besarnya tarif zakat yang ditentukan untuk setiap jenis harta tidaklah
sama. Jika hal ini dikaji maka akan ditemukan beberapa hikmah ekonomi yang
terkandung. Secara umum, zakat dikenakan atas tiga ukuran, yaitu (1) volume
produksi (2) pendapatan atau keuntungan (3) unit kekayaan. Misalnya zakat atas
barang temuan, pertanian dan peternakan dihitung atas volume produksi setiap
periode, sedangkan zakat atas perdagangan dihitungkan atas pendapatan bersih
dan zakat atas emas, perak dihitung atas unit simpanan kekayaan. Jika
diperhatikan tarif zakah atas barang temuan, pertanian dan peternakan maka
penerimaan bersih (setelah mencapai nisab dan membayar zakat) yang akan
diterima oleh pengusaha adalah sebagai berikut:
Barang
temuan/tambang/dsb : = 80% R
Pertanian tadah
hujan := 90% R
Pertanian irigasi : = 95% R
Peternakan
unta/sapi := 97,5%
R
Perdagangan :=
97,5% R
Peternakan
kambing/domba := 99% R
Dari gambaran diatas tampak bahwa zakat
berperan seperti pajak penjualan. Artinya sebelum muzakki menikmati laba usaha
mereka harus mengeluarkan zakatnya terlebih dahulu. Ditinjau dari aspek ekonomi
hal ini akan memberikan disinsentif bagi pelaku bisnis karena akan mengurangi
laba bersih usaha, yang pada akhirnya akan mengurangi insentif untuk berusaha[2]
Dengan membayar zakat maka tingkat
output yang menghasilkan laba maksimum akan semakin kecil, sehingga secara
mikro output yang dihasilkan akan menurun dari Q* menuju Qz. Disinsentif inilah
yang akan mendorong mereka untuk memilih tingkat laba bersih yang paling
tinggi. Jika tingkat laba antar usaha relatif sama maka masyarakat akan memilih
berpindah dari sektor dengan tarif zakat tinggi menuju sektor dengan tarif
zakat rendah. Secara umum tarif zakat ini membawa misi transformasi ekonomi
agar perekonomian bergerak dari sektor primer yaitu pertambangan dan pertanian
dasar menuju industri dan perdagangan. ‘penerapan zakat akan membawa
perekonomian dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yaitu dari
masyarakat pemburu (sektor primer) menuju masyarakat pengolah (sektor industri
manufaktur)’
2. Zakat
akan Menyuburkan Perekonomian
Allah telah berjanji bahwa Dia akan menyuburkan
harta yang disedekahi (dikeluarkan zakat atau sedekahnya) dan menyusutkan harta
yang diribakan. Pelaksanaan zakat akan memiliki dampak sosial akan menyuburkan
(menumbuhkan) perekonomian melalui peningkatan produktifitas sektor mustahiq.
Zakat akan mendorong sektor ini berubah dari ketidakberdayaan menjadi mampu
untuk melakukan interaksi di pasar. Zakat yang diberikan dalam bentuk barang
konsumsi atau uang cash akan meningkatkan daya beli mustahiq terutama terhadap
kebutuhan-kebutuhan pokok mereka. Namun ketika kebutuhan pokok mereka
terpenuhi, zakat bisa mendorong produktivitas mereka sehingga akan meningkatkan
kesejahteraan secara makro. Hal ini sudah dijelaskan melalui gambar diatas,
bahwa zakat bisa menambah permintaan ataupun penawaran di sektor mustahiq yang
pada gilirannya juga akan meningkatkan perekonomian secara umum.
Di sisi lain, zakat memberikan insentif
yang berbeda dengan pajak. Pajak pada hakikatnya merupakan hutang pemerintah
kepada warganya, yang harus dibayar dalam bentuk fasilitas umum atau
redistribusi kesejahteraan. Hal ini yang mendorong pajak akan melahirkan
tuntutan bagi pembayarnya dan berpengaruhnya para pembayar pajak dalam proses
pengambilan kebijakan pemerintah. Sedangkan zakat dibayarkan dengan motivasi
keikhlasan dan didistribusikan oleh amil untuk individu-individu yang tidak
mampu. Oleh karena itu zakat memberikan kebebasan kepada amil ataupun mustahiq
untuk menggunakannya sehingga diharapkan akan memberikan kreativitas dalam
peningatan perekonomian.
3. Zakat
Membangun Moralitas Ekonomi
Allah
menjelaskan bahwa perintah zakat ditujukan untuk dua hal, yaitu untuk
membersihkan (harta) dan mengsucikan (QS 9:103). Ayat-ayat Qur’an yang
menjelaskan tentang zakat lebih menekankan pada kewajiban membayarnya daripada
proses distribusi ataupun dampaknya. Pesan-pesan moral yang disampaikan bahwa
pembayaran zakat dimaksudkan untuk membesihkan harta manusia (Muslim) serta
mengsucikan jiwa-jiwa mereka dari sifat iri, dengki, kikir dan tabdzir (boros).
Kehidupan harmoni antar masyarakat inilah yang diharapkan lahir dari
pelaksanaan zakat, terutama zakat yang dibayarkan secara ikhlas dan tidak
mengharap imbalan apapun dari pihak yang menerima zakat.
Pelaksanaan
zakat akan mendidik bagi pembayar maupun penerima zakat untuk memiliki kesucian
hati. Pembayar zakat akan disucikan dari perasaan sombong dan kikir. Di sisi
lain, penerima zakat akan disucikan dari perasaan iri dan dengki terhadap
perbedaan kekayaan dengan orang lain[3].
Zakat
dilihat dari segi ekonomi adalah merangsang si pemilik harta kepada amal
perbuatan untuk mengganti apa yang telah diambil dari mereka. Ini
terutama jelas sekali pada zakat mata
uang, di mana Islam melarang menumpuknya, menahannya dari peredaran dan
pengembangan. Dalam hal ini ada ancaman Allah : Artinya : “...dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS. at-Taubah : 34).
Tentu
tidaklah cukup dengan sekedar ancaman yang berat ini, akan tetapi Islam
mengumumkan perang dalam praktek terhadap usaha penumpukan dan membuat garis
yang tegas dan bijaksana untuk mengeluarkan dari kas simpanan. Hal itu
tercermin ketika Islam mewajibkan 2½% dari kekayaan uang., apakah diusahakan
oleh pemiliknya atau tidak. Dengan demikian, maka zakat itu merupakan suatu
cambuk yang bisa menggiring untuk mengeluarkan uang agar diusahakan, diamalkan
dan dikembangkan sehingga tidak habis dimakan waktu[4]
Pelaksanaan
zakat akan mendidik bagi pembayar maupun penerima zakat untuk memiliki kesucian
hati. Pembayar zakat akan disucikan dari perasaan sombong dan kikir. Di sisi
lain, penerima zakat akan disucikan dari perasaan iri dan dengki terhadap
perbedaan kekayaan dengan orang lain.
C. Urgensi
Zakat Dalam Membangun Kesalehan Sosial
Pada
sasaran zakat ini ada yang bersifat identitas sosial, seperti menolong orang
yang mempunyai kebutuhan, menolong orang-orang yang lemah, seperti fakir,
miskin, orang yang berutang, dan ibnu sabil.
Menolong
mereka, meskipun sifatnya pribadi, akan tetapi mempunyai dampak sosial, karena
masing-masing saling berkaitan erat, sebab secara pasti antara pribadi dengan
masyarakat akan saling berpengaruh, bahkan masyarakat itu tidak lain merupakan
kumpulan pribadi-pribadi. Segala sesuatu yang memperkuat pribadi, mengembangkan
cita-citanya dan kemampuan material serta spiritualnya, dengan tidak diragukan
lagi akan memperkuat dan mempertinggi masyarakatnya. Sebaliknya segala sesuatu
yang mengokohkan masyarakat dengan sifatnya yang umum akan berakibat kepada
anggotanya, baik 'disadari maupun tidak. Maka, tidaklah aneh, dengan
menyibukkan para penganggur, menolong orang yang lemah dan membutuhkan, seperti
fakir, miskin, budak belian dan orang yang berutang akan mempunyai sasaran
kemasyarakatan, karena di dalamnya ada unsur sosial, yang pada waktu yang
bersamaan mempunyai sasaran individual, jika dilihat dari orang yang menerima
zakat.
Zakat,
adalah salah satu bagian dari aturan jaminan sosial dalam Islam, di mana aturan
jaminan sosial ini tidak dikenal Barat, kecuali dalam ruang lingkup yang
sempit, yaitu jaminan pekerjaan, dengan menolong kelompok orang yang lemah dan
fakir.
Islam
memperkenalkan aturan ini dalam ruang lingkup yang lebih dalam dan lebih luas,
yang mencakup segi kehidupan material dan spiritual, seperti jaminan akhlak,
pendidikan, jaminan politik, jaminan pertahanan, jaminan pidana, jaminan
ekonomi, jaminan kemanusiaan, jaminan kebudayaan dan yang terakhir adalah
"jaminan sosial".[5]
Secara
prinsipil zakat dapat dijadikan sebagai pintu masuk (gapura) bagi umat Islam
jika memang mereka benar-benar dan sungguh-sungguh ingin berupaya menegakkan
amanah kekhalifahannya dengan menegakkan keadilan dan kesalehan sosial dalam
kehidupan masyarakat.
Pada
prinsipnya ajaran zakat harus dipahami sebagai kewajiban bagi setiap umat Islam
yang diperintahkan Allah SWT guna menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial,
karena hanya dengan pemahaman ini, zakat akan benar-benar dapat mewujudkan
kemaslahatan bersama. Apa yang diinginkan oleh agama dengan kesalihan diri
tentu tidak cukup ditegakkan hanya dengan pendekatan-pendekatan personal,
melainkan harus dibarengi dengan pasangannya “nasihat bil al-hal” yang bertolak
dari realitas sosio struktural.
Zakat
dalam pandangan Islam merupakan suatu kewajiban yang memiliki dua dimensi,
yakni dimensi spiritual dan dimensi sosial. Dalam fungsinya yang bersifat
sosial, zakat dapat dipergunakan sebagai sarana pemerataan pendapatan
masyarakat melalui pendistribusian harta kepada orang-orang yang memerlukan
sebagaimana yang telah disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 60.
Artinya
: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para
mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”[6].
Ternyata
dalam penerapan, pengelolaan dan pemberdayaan zakat masih jauh dari harapan. Padahal,
dari kelima rukun Islam, ajaran zakatlah yang paling dekat dengan inti
ketidakadilan secara sosio-ekonomis dalam masyarakat muslim. Tapi nyatanya
hingga saat ini problematika zakat masih buntu dan tidak kondusif.
Dengan
dikelolanya zakat secara efektif dan efisien, diharapkan kehidupan orang-orang
miskin dan yang kekurangan dapat ditingkatkan, sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Qur’an “Dan pada harta-harta mereka
ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat
bagian” (QS. Al-Dzariyat ayat 19).
Jika
ditelaah pengelolaan zakat pada BAZ Kabupaten, maka akan dipahami bahwa apa
yang dilakukan oleh lembaga ini jelas sudah mencoba melakukan upaya menjadikan
zakat sebagai sarana untuk mewujudkan kemaslahatan umat, meskipun memang di
sana sini masih ada yang masih perlu untuk disempurnakan. Adanya variasi
program dan layanan yang ditawarkan lembaga ini jelas merupakan refleksi
teologis terhadap ajaran zakat yang sudah dianalisis dengan pendekatan
sosiologis. Di samping itu, pada saat yang bersamaan, program dan layanan
tersebut juga ditunjukkan sebagai langkah dan sarana penyadaran kepada para
muzakki agar mereka mau menunaikan zakatnya secara sadar diri, tidak merasa
tertekan dan terpaksa. Tentu saja program dan layanan tersebut merupakan hasil
perencanaan yang komperehensif dari partisipasi semua pihak, baik pengurus,
cendikiawan, maupun masyarakat luas.
Kemudian
program dan layanan itu diaktualkan dalam wujud nyata oleh team
work yang ada didalamnya, yakni pegawai tetap. Sementara evaluasi dan
perumusan kebijakan-kebijakan baru harus selalu dilakukan, baik insidental
maupun terencana untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada. Khusus
evaluasi yang terencana (terprogram) baik mingguan, bulanan dan khususnya
tahunan, ketika dilakukan tutup buku.
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
DAN SARAN
Zakat
dapat digunakan untuk mempengaruhi kinerja suatu perekonomian dengan cara
meredistribusi zakat kepada mustahiq jika diperlukan sesuai dengan siklus
bisnis. Pengeluaran zakat dapat ditingkatkan ketika perekonomian sedang melemah
untuk meningkatkan pengeluaran agregat dan aktivitas ekonomi. Karena jumlah
penerima zakat meningkat pada saat resesi ekonomi, pemerintah dapat
mengalokasikan zakat lebih banyak dengan menggunakan surplus zakat yang
diperoleh saat ekonomi booming.
Zakat
bisa berfungsi ganda, yaitu menurunkan tingkat permintaan kelompok kaya
sehingga mampu mengerem tingkat pertambahan harga. Di sisi lain zakat juga akan
meningkatkan daya beli serta produktivitas masyarakat miskin, sehingga jika
kedua hal ini terjadi beriringan maka proses harmonisasi kedua kelompok akan
terjadi.
Demikianlah
makalah singkat ini, kami menyadari banyaknya kekurangan didalam
penyusunannya. Maka dari pada itu kami meminta maaf dan Kami mengharapkan
kepada para pembaca, teman-teman dan Bapak Dosen Pembimbing untuk memberikan
kritik dan saran agar makalah kami ini menjadi lebih baik dimasa yang akan
datang. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih SUnnah, Jakarta :
Pustaka Azzam, 2006.
Daud,
Drs. Kgs. H. M. M.Hi Pentingnya reinterpretasi zakat Di tengah perubahan
sosial, Palembang :
http://lazisuii.org/index.php/hikmah/artikel-zis/item/26-peran-zakat-dalam-pemulihan dan-transformasi-ekonomi.
Manan,
Abdul. Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Alih Bahasa M.
Nastangin, Dana Bhaktiyasa, Jakarta, tt.
Mohammad
Taufiq, Qur’an in Word, ver : 1.2.0.
Yusuf
Qardhawi. Fiqih Zakat.
[1].
Mohammad Taufiq, Qur’an in Word, ver : 1.2.0.
[2]
. Meski
demikian, penerapan zakat ini berbeda dampaknya dengan pajak penjualan, karena
pajak penjualan dikenakan atas harga sehingga berpengaruh pada naiknya harga
barang. Sedangkan zakat dipungut dalam bentuk unit produk sehingga tidak akan
berdampak menaikkan harga namun hanya menurunkan laba usaha
[4]
. Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim, Shahih Fiqih SUnnah, Jakarta :
Pustaka Azzam, 2006, hal : 881-882.
[5]. Abu
Malik, Op. Cit, hal : 877-878.
[6]
Mohammad Taufiq, Qur’an in Word, ver : 1.2.0
Monday, July 13, 2015
makalah tentang riba
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Riba
sebagai persoalan pokok dalam makalah ini, disebutkan dalam Al-Qur’an
dibeberapa tempat secara berkelompok.Dari ayat-ayat tersebut para ‘ulama’
membuat rumusan riba, dan dari rumusan itu kegiatan ekonomi diidentifikasi
dapat dimasukkan kedalam kategori riba atau tidak. Dalam menetapkan hukum, para
‘ulama’ biasanya mengambil langkah yang dalam Ushul Fiqh dikenal dengan ta’lil
(mencari ‘illat). Hukum suatu peristiwa atau keadaan itu sama dengan
hukum peristiwa atau keadaan lain yang disebut oleh nash apabila sama ‘illat-nya.[1]
Kendati
riba dalam Al-Qur’an dan hadis secara tegas dihukumi haram, tetapi karena tidak
diberikan batasan yang jelas, sementara masalah ini sangat dekat dengan
aktivitas ekonomi masyarakat sejak dulu hingga kini, hal ini menimbulkan
beragam interpretasi terhadapnya. Sejak masa awal, persoalan riba telah
dipandang sebagai salah satu permasalah agama yang paling pelik. Sampai-sampai
Umar ibn Khattab dikabarkan menyatakan : “Ada tiga perkara yang sangat aku
sukai seandainya Rasulullah meninggalkan wasiat untuk kita, yakni persoalan
pewarisan kakek (datuk), kalâlah, dan persoalan riba,
Manusia adalah
adalah satu-satunya makhluk yang paling sempurna di muka bumi ini. Tidak ada
satupun makhluk di dunia ini yang sempurna melebihi manusia. Sebagaiman Allah, yang artinya
“ kami (Allah) benar-benar
telah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk”[2].
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa Allah mengangkat manusia sebagai kholifah di muka bumi ini
mengalahkan makhluk-makhluk lain yang telah diciptakan ribuan tahun lebih
dahulu. Hal seperti ini seharusnya patut di syukuri oleh manusia dengan selalau
melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Allah kepadanya dan menjauhi segala sesuatu yang dilarangnya.
Namun
kadang-kadang label kesempurnaan manusia itu justru ia rusak sendiri dengan
melakukan hal-hal yang dilarangnya dan meninggalkan hal-hal yang telah
diperintahkannya. Sehingga menyebabkan manusia diturunkan oleh Allah ke tempat
yang amat hina melebihi makhluk-makhluk lain yang hina. Sebagaimana dijelaskan
Allah Al-Qur’an yang artinya;
“ kemudian kami kembalikan manusia itu ke tempat yang serendah-rendahnya
(neraka)”[3].
B. Manfaat dan Tujuan Penulisan
Sebagai
bahan pembelajaran dan pacuan untuk bertindak lebih baik
Subscribe to:
Posts (Atom)